Sejarah


Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Institut DIAN) atau lebih dikenal dengan nama Interfidei (Institute for Inter-Faith Dialogue in Indonesia), didirikan pada tanggal 20 Desember 1991 di Yogyakarta oleh teolog cum pemikir, budayawan yakni alm. Dr. Th. Sumartana, bersama dengan sejumlah figur dengan latar belakang berbeda dan komitmen sosial religius yang kuat. Mereka adalah alm. Pdt. Eka Darmaputra, Ph. D., Daniel Dhakidae, Ph. D., alm. Zulkifly Lubis, dan Dr. Djohan Effendi. Selain kelima orang pendiri tersebut, ada banyak orang yang ikut bersama dalam memikirkan kelahiran Interfidei, sejak embrio sampai terwujud.

 

Awalnya, Interfidei berupa forum, di mana pemikiran keagamaan dan konsep keyakinan, dimana dinamika wacana tentang keberagaman (pluralisme) serta perjumpaan dengan kehidupan nyata, dibagikan, didiskusikan, dan digumuli bersama. Dalam perkembangan selanjutnya, Interfidei tidak algi sekadar forum, namun juga aktor sekaligus "provokator damai" - istilah yang digunakan sejak tahun 2006 dalam Jaringan Antar Iman Indonesia (JAII) di Banjar Baru - yang aktif mempromosikan pentingnya merawat dan menghidupkan keberagaman serta bekerjasama mencari solusi bagi permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat dan bangsa Indonesia. Di antaranya dengan menjadi penyelenggara dan fasilitator bagi berbagai program pendidikan (lokakarya dan pelatihan) tentang bagaimana mengelola keberagaman dan kerjasama di dalam komunitas agama-agama dan di masyarakat secara umum.

 

Ada 3 (tiga) kelompok target dari kegiatan Interfidei yakni pemimpin agama berbasis komunitas, guru-guru agama-agama dan guru-guru pendidikan kewarganegaraan, serta kaum muda (aktivis LSM, ormas kepemudaaan, dan mahasiswa).

Latar Belakang


Latar belakang pendirian :

Historis:

Internasional. 1) Konflik yang disebabkan oleh perang dingin; 2) Kesadaran baru untuk menghormati agama lain serta pandangan ideologi yang berbeda; 3) Kegiatan dialog antaragama dan antarideologi menuju perdamaian dunia.

Nasional. 1) Persoalan Kemanusiaan yang terjadi di erah 1960-an sampai 1980-an : kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, ketidakadilan hukum, ekonomi; 2) Konflik social-politik serta kesadaran tentang dialog dan rekonsiliasi; 3) Keterpanggilan para tokoh untuk mengembangkan sikap positif dan menjalin kerjasama untuk membangun masyarakat damai, produktif dan sejahtera; 4) Tantangan kooptasi dan politisasi negara terhadap agama-agama serta formalisasi agama oleh institusi agama.

 

Filosofis:

Agama-agama merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kehidupan religius dalam konteks apapun tidak mungkin dilepaskan dari tanggungjawab untuk memecahkan masalah-masalah social-kemanusiaan. Dialog dianggap sebagai jalan keluar dari berbagai konflik di masyarakat; konflik antaragama, antargolongan, antara agama dan negara, agama dan ideologi, dsb.

 

Mengapa “dialog antariman”?

“Iman”, adalah ungkapan otentik dari korelasi antara keyakinan dan realitas kehidupan, yang berhubungan erat dengan pengalaman konkrit kehidupan sehari-hari. Karena itu bisa dibicarakan bersama dalam suasana bebas dan terbuka. “Iman” sebagai esensi agama/kepercayaan, mendorong kepada dialog yang dilakukan setiap orang secara individual, bukan sebagai lembaga. “Dialog”, tidak bertujuan menghapus pebedaan, tetapi merupakan langkah menjalin komunikasi dan ungkapan kesediaan untuk saling mendengar, menghormati dan terbuka. “Dialog” mengandung konflik inheren pada hubungan antarmanusia, sekaligus menjanjikan sebuah akhir yang lebih dewasa untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik.

Visi


Terciptanya masyarakat sipil yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi

Misi


  1. Mendorong dan mengembangkan pemikiran keagamaan yang pluralistik melalui dialog.
  2. Menstimulasi sebuah jaringan yang dinamis bagi dialog dan kerja sama antar-agama.
  3. Mendorong transformasi agama sebagai solusi bagi persoalan sosial-kemanusiaan yang dihadapi masyarakat.