img

Qalbi Tulusa: Penggerak Perjumpaan dan Diskusi Lintas Iman di Gorontalo


Saya, Qalbi Tulusa, biasa dipanggil Qalbi, salah seorang alumni pelatihan yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei pada tahun 2016-2018 di beberapa daerah di Sulawesi, antara lain di Gorontalo. Dari kurang lebih 76 orang peserta  di beberapa daerah tersebut, 15 orang di antaranya dilibatkan dalam pelatihan lanjutan, yaitu untuk calon pelatih (TOT) tentang “Mengelola dan Memaknai Perbedaan” di kalangan pemuda lintas iman. Ke-lima belas orang tersebut dari Makassar, Gorontalo dan Bolaang Mongondow. Pelatihannya di Makassat pada 10-13 Desember 2018.


Manfaat yang saya peroleh dari mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Interfidei yaitu: (1) Menambah semangat dan keinginan saya untuk menghimpun/melakukan kegiatan bersama dengan komunitas-komunitas yang berbeda (secara agama dan pemikiran), (2) Saya lebih memahami cara berkomunikasi dengan orang yang berbeda (agama) dengan saya, serta (3) Meningkatkan semangat bertoleransi. 


Kegiatan yang biasa saya lakukan bersama teman-teman terutama dari komunitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diantaranya menyelenggarakan kegiatan kajian umum. Misalnya menyelenggarakan diskusi dengan tema “Agama dan Budaya” pada tanggal 4 Mei 2019 di lapangan Basket Universitas Negeri Gorontalo. Setelah tidak menjadi pengurus HMI, saya sering dimintai masukan dan dilibatkan sebagai pembicara dalam sejumlah diskusi mereka. Teman-teman mengenal saya sebagai seorang penggerak komunitas lintas iman, oleh karena itu materi yang sering mereka minta agar saya menyampaikan tentang pentingnya toleransi dalam hidup beragama. Kegiatan diskusi tersebut dilakukan relatif rutin seminggu sekali, dan telah berlangsung lama. Karena peserta dalam kajian/diskusi semuanya mahasiswa maka kami menjadwalkannya di malam hari dan tempatnya berpindah-pindah. Selain di sekretariat HMI, kami juga berdiskusi di masjid-masjid sekitar dan di beberapa kampus. Peserta yang hadir dari bermacam-macam latar belakang. Jumlah peserta diskusi belasan orang, namun kadang lebih dari 20 orang. Saat saya menjadi pembicara diskusi, peserta sebanyak 20 orang, di mana peserta perempuan berjumlah 8 orang dan laki-laki sebanyak 12 orang. Tujuan diskusi ini agar para kader HMI memiliki karakter yang bersifat terbuka terhadap orang/kelompok yang berbeda.


Ada cerita mengesankan yang saya alami beberapa waktu lalu. Saat bulan puasa, tepatnya 9 Mei 2019, di Galeri Riden Baruadi Kota Gorontalo, atas inisiasi Gusdurian Gorontalo, saya terlibat dalam kegiatan diskusi Lintas Komunitas sebagai panitia yang bertugas menghadirkan pembicara/pemateri dari komunitas agama lain. Diskusi tersebut bertema “Puasa dalam Perspektif Agama-Agama”. Kegiatan ini menghadirkan beberapa pembicara, seperti dari kalangan Islam (Sabara Nuruddin), Kristen Katolik (Ferdinand), Kristen Protestan (Rudi Harold), dan Hindu (Ni Komang Darmini). Kegiatan ini berjalan lancar meskipun hanya dihadiri 28 orang (12 Perempuan dan 16 laki-laki), yang diakhiri dengan acara berbuka bersama. Dalam diskusi tersebut, saya berbagi pengetahuan tentang adanya sejumlah hal yang mirip di antara agama-agama, tetapi berbeda dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Menurut saya, perbedaan atas suatu konsep di antara agama-agama merupakan hal yang tidak perlu dipertentangkan, namun perlu dipahami.


Bila aktif menyelenggarakan diskusi lintas iman seperti itu, maka kita akan lebih memahami bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang berbeda (agama) dan belajar tentang tata cara bertoleransi secara langsung melalui pratek atau tindakan nyata. Penyelenggaraan diskusi ini juga memberi manfaat, selain memberi pemahaman juga membuka ruang dan kesempatan silaturahmi antar sesama umat beragama. Ini terbukti ketika kegiatan selesai, para peserta kemudian saling berkunjung ke tempat ibadah maupun rumah mereka masing-masing agar mengenal secara lebih dekat.


Saat mempersiapkan penyelenggaraan diskusi tadi, ada cerita menarik dan berharga bagi saya, yakni tentang bagaimana kita bersikap dan memahami sikap orang lain. Waktu itu, di internal panitia, saya menawarkan diri untuk mengantarkan surat undangan bagi pembicara dari Kristen Katolik. Awalnya saya belum tahu lokasi tempat tinggalnya. Saya perlu mencarinya selama 30 menit, ternyata sebuah Pastoran (tempat tinggal Pastor). Saat tiba, saya disambut oleh tiga pemuda yang sedang menikmati kopi dan kue yang dihidangkan di atas meja. Sembari menikmati kopi dan kue, mereka mengelus anjing yang jinak namun agresif. Ada tiga ekor anjing, mereka terlihat suka mencium kaki atau menggosokkan badannya ke kaki ketiga pemuda tersebut. Salah satu dari mereka ternyata Pastor, dan mempersilakan saya duduk.


Saya duduk sambil kuatir karena takut dengan anjing, apalagi kalau anjingnya ternyata menggigit. Pak Max, Pastor tadi, mengatakan, “Kami sangat senang dikunjungi apalagi dengan adanya kegiatan diskusi bersama seperti ini.” Beliau sebenarnya ingin hadir, namun ternyata waktunya bersamaan dengan kegiatan lain yang telah dijadwalkan institusinya. Namun beliau menyampaikan bahwa dari mereka tetap akan ada yang hadir sebagai pembicara. Sambil mendengarkan beliau bercerita, saya merasakan dinginnya kaki yang sedang dijilat anjing serta menggosokkan giginya di celana saya. Saya membiarkan anjing itu karena tuan rumah mengatakan tidak apa-apa, anjing tidak akan menggigit.


Dalam hati saya berkata, “Memang tidak gampang untuk jadi toleran secara perbuatan. Kalau hanya teori, mungkin semua orang bisa.”
Selain itu, saat saya datang, awalnya mereka hendak berhenti makan kue serta minum kopi karena mengetahui bila saya berpuasa. Namun saya sampaikan, “Tidak apa-apa, sekarang sudah jam lima sore, sebentar lagi saya buka puasa. Lagipula, puasa itu kalau tidak ada ujiannya, tidak asyik.” Setelah menyerahkan undangan, saya pamit dan langsung pulang ke rumah untuk mencuci kaki dan celana sebagaimana yang diajarkan oleh agama saya, yakni “jika kita tersentuh oleh liur anjing dan babi, maka cara membersihkannya dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, di mana salah satunya menggunakan tanah”.


Kegiatan saya yang lain, bersama dengan sejumlah teman muda, kami melakukan kunjungan belajar ke komunitas agama lain. Juga terlibat dalam perayaan hari raya keagamaan maupun melakukan kunjungan secara pribadi ke komunitas lain. Kami juga memiliki group WhatApps (WA) yang bernama Lintas Komunitas. Setiap ada perayaan hari besar agama lain, selain memberi ucapan selamat di dalam group WA, kami juga berkunjung ke rumah teman yang merayakan hari besar tersebut. Saat berkunjung, kami berdiskusi tentang hal-hal yang berhubungan dengan gerakan toleransi. Banyak hal yang kami bicarakan, dari persoalan konsep hingga hal-hal yang bersifat teknis. Dengan melakukan kunjungan atau silaturahmi ke rumah teman yang berbeda agama, saya memahami bahwa perbedaan itu dapat dikomunikasikan dan berjalan bersama. Perbedaan saya pahami sebagai berkah dalam kehidupan bersama.


Ada dua faktor yang menjadikan alasan saya bersama teman-teman terus bergerak yaitu: (1) Sebagai komunitas, ada dukungan dari teman-teman. Mereka sejalan dalam pemahaman tentang tata cara memelihara perbedaan seperti yang saya lakukan dan dengan keharusan bagi organisasi dalam hidup bertoleransi, serta (2) Secara pribadi, saya memiliki mimpi di mana setiap orang mampu/bersedia menerima perbedaan yang ada sebagai sesuatu kekayaan keberagaman yang harus dimiliki agar mampu beradaptasi dengan baik dengan di tengah llingkungan mereka. Sementara faktor penghambat dalam mempraktikkan pengetahuan/ketrampilan yang telah saya peroleh yaitu masih kurangnya sumber-sumber pemahaman secara empirik tentang toleransi. Kadang saya masih merasa kurang memadai bila diminta menjadi narasumber diskusi yang bertema toleransi. Saya masih butuh ruang belajar dan mengasah kemampuan untuk menjadi seorang penggerak toleransi.


Ditulis oleh: Cornelius Selan
Editor: Otto Adi Yulianto