img

Muhammad Fakhimuddin: Belajar Menerima dan Menghormati yang Berbeda


Saya, Muhammad Fakhimuddin, pemuda dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat ini saya masih kuliah di Fakultas Ekonomi Syariah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya merupakan salah satu alumnus pelatihan Mengelola dan Memaknai Perbedaan bagi Pemuda yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei di Yogyakarta pada tahun 2018 (tingkat dasar) dan 2019 (tingkat lanjut). Pelatihan tersebut bertema ”Meneguhkan Yogyakarta sebagai Kota Toleran.”


Berkat mengikuti pelatihan tersebut, saya terbebas dari prasangka buruk dan kebencian terhadap agama di luar agama yang saya yakini, yaitu agama Islam. Hal ini terjadi berkat adanya pengalaman berjumpa, berinteraksi, berdialog, dan berkegiatan bersama teman-teman yang berbeda agama. Di antaranya dengan berkunjung dan belajar tentang agama lain (termasuk berkunjung ke komunitas Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa), juga bertanya dan mengkonfirmasi prasangka saya sebelumnya terhadap mereka. Semua ini merupakan pengalaman dan pengetahuan yang baru bagi saya. Perubahan signifikan yang saya alami adalah terjadinya perubahan pola pikir (mindset) saya terhadap perbedaan. Bagi saya, Indonesia ternyata bukan hanya saya, bukan hanya agama saya (Islam) saja, bukan hanya orang Bima saja, apalagi setelah tinggal dan belajar di Yogyakarta, kemudian mengikuti pelatihan tersebut, saya perlahan-lahan belajar tentang keberagaman, belajar menerima, menghormati, dan menghargai orang lain atau mereka yang berbeda.


Terhadap perbedaan, bagi saya, perbedaan itu benar-benar nyata dan tidak bisa disamakan atau diseragamkan apapun alasannya. Dengan cara pandang seperti itu, sikap saya terhadap perbedaan pun berubah; dulu tertutup dan tidak mau bergaul dengan yang berbeda, tetapi sekarang sudah seharusnya saya meneriman orang lain yang berbeda. Saya sudah seharusnya menerima orang lain yang berbeda dengan saya, baik berbeda agama, suku, dan latar belakang lain dengan penuh penghormatan. Saya menerima mereka yang berbeda agama dengan segala jenis ritual ibadahnya. Mereka juga seperti itu, menerima saya dan terbuka menghargai agama saya.


Dari proses semua proses itu, menurut saya, hal yang terpenting adalah berjumpa dengan yang berbeda. Perjumpaan, berdialog, berinteraksi dan bekerja sama dengan mereka yang berbeda adalah pokok yang penting. Kegiatan-kegiatan seperti ini seharusnya diperbanyak. Kalau hanya sekadar mendengar apa kata orang, itu tidak cukup. Kita perlu punya pengalaman untuk belajar langsung dari lapangan, bertemu langsung dengan sumbernya, dengan mereka yang berbeda itu dan mendengar langsung tentang mereka dari mereka, bahkan mengkonfirmasi persepsi kita tentang agama mereka, aktivitas komunitas atau umat mereka, dan lain-lain secara langsung. Bagi saya, pola berjumpa dan berdialog yang terbuka, jujur, terus terang seperti ini penting untuk memperbaiki apa yang selama ini saya pikirkan tentang agama lain yang ternyata banyak keliru, tidak benar sehingga membantu saya menjadi terbuka untuk menerima dan berteman dengan orng lain, dengan siapa saja.


Saat pertama kali mendapat informasi tentang adanya kegiatan pelatihan yang diselenggarakan Interfidei ini (tahun 2018), saya memberanikan diri mendaftar karena penasaran ingin tahu. Dengan mengikuti kegiatan tersebut, saya mendapat pengalaman. Sementara jika kita hanya sekadar membaca dari buku, kita hanya mendapat pengetahuan atau cerita orang lain, bukan pengalaman. Untuk itu, saya kemudian memberanikan diri mendaftar agar merasakan dan mengalami pengalaman bertemu dengan yang berbeda secara langsung.
Sebelum mengikuti pelatihan dan mengenal Interfidei, saya merespon realitas yang berbeda dengan mengambil jarak. Waktu itu, bagi saya, ”Karena kita memang berbeda, biarlah saya dengan agama saya, dan kamu dengan agama kamu”. Sewaktu saya masih di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), saya tahu hanya sebatas agama saya sendiri. Ketika di sekolah menengah atas (SMP), saya bergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi itu organisasi eksternal sekolah. Setiap minggu, saya mengikuti pertemuan. Di forum tersebut saya diajarkan untuk menolak realitas yang majemuk. Jangankan terhadap mereka yang beragama bukan Islam, orang atau komunitas yang beragama Islam namun alirannya berbeda, atau mempunyai pendapat atau pandangan keagamaan yang berbeda, saya benci. Contohnya, Gus Dur. Waktu itu saya membenci Gus Dur yang sangat terkenal dengan pemikiran-pemikiran tentang keagamaan namun berbeda dengan pemikiran keagamaan  yang saya yakini. Ketika saya pindah ke Yogyakarta untuk bersekolah di UIN Sunan Kalijaga, perlahan-lahan saya mulai terbuka dengan realitas majemuk, juga mulai membaca buku-buku karya Gus Dur.


Di Yogyakarta, saya tinggal di rumah kost, yang tanpa saya sadari sebelumnya ternyata pemiliknya beragama Katolik. Orang-orang yang tinggal di sana juga beragam suku dan agamanya. Tentu saja saya waktu itu merasa beda dan sedikit kaku. Di sana, pertama kali saya mendengar mereka berdoa sesuai ajaran Agama Katolik. Mereka juga berkali-kali berlatih menyanyi atau paduan suara. Ketika mereka sedang berdoa, saya dan beberapa teman sempat membuat kegaduhan dengan bernyanyi dengan iringan gitar.


Saat saya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Interfidei (tahun 2018), saya belajar untuk mengudar atau membongkar prasangka dengan belajar untuk mengembangkan pemahaman keagamaan saya menjadi lebih baik. Saya ikut berkunjung ke beberapa rumah ibadah agama lain dan belajar tentang agama itu. Saya juga berkegiatan bersama dengan mereka. Pada waktu berkunjung ke gereja dan rumah ibadah agama lain, saya kaget karena saat itu masih merupakan pengalaman pertama kali saya. Dari pengalaman itu, pemahaman saya mulai berubah dan mendukung pandangan bahwa Indonesia itu rumah bersama. Oleh karena itu, kita harus mengelolanya dengan baik.


Pasca mengikuti pelatihan, saya mulai aktif ke dalam pelbagai kegiatan mempromosikan toleransi dan hidup damai yang di lakukan oleh MUKTI (Komunitas Alumni Lokakarya). Awalnya, kami aktif  mempromosikan toleransi seperti; nonton film dan diskusi. Saya juga aktif dalam kegiatan Interfaith Voice (Kelompok paduan suara yang dibentuk sejak Maret 2018 dalam rangka Bulan Oikoumene, 25 Mei 2018. Aggotanya terdiri dari berbagai agama dan mempromosikan perdamiaan dan kerukunan melalui lagu; menyanyikan lagu-lagu bernuansa perdamaian dan universal dari masing-masing agama. Kelompok ini, pertama kalinya mengisi kegiatan ibadah di gereja atau dalam acara-acara interfaith di Yogyakarta) dan saya pernah menjadi panitia paskah di gereja Katolik juga bermain teater tentang Paskah (saya berperan sebagai murid Yesus). Saya juga mendapat kesempatan mengikuti kegiatan Srawung Pemuda Lintas Iman yang dilaksanakan oleh Keuskupan Agung Semarang pada tahun 2018.


Di awal pandemi Covid-19, saya  dan Pemuda Kreatif Lintas Iman (MUKTI) Yogyakarta bersama Institut DIAN/Interfidei membuat dapur umum untuk menolong mereka yang terdampak pandemi seperti anak jalanan, pengemudi becak, pedagang kaki lima, driver ojek, dan lain-lain. Lewat pengalaman ini, saya belajar bahwa karena kita memang hidup bersama, maka kita tidak hidup untuk diri sendiri saja, namun kita saling membutuhkan dan perlu bekerja sama. Dalam menolong orang yang mengalami kesusahan, semestinya tanpa harus melihat latar belakang agama yang dianutnya. Siapa pun itu, mereka adalah sesama kita. Selain itu, bersama MUKTI pula, yang tergabung dalam Forum bersama PRB dan saya ikut melakukan kampanye penyadaran ke publik lewat media sosial tentang apa itu Covid-19 dengan menggunakan pelbagai bahasa daerah di Indonesia. Meski hanya sedikit yang bisa saya lakukan, namun keterlibatan ini membuat saya sangat senang. Saya yakin bahwa perubahan ini akan membawa berkah bagi bangsa Indonesia.


Ditulis oleh: Cornelius Selan
Editor: Otto Adi Yulianto