img

Anita: Membangun Jembatan bagi Perbedaan di Sekolah


Saya, Anita, Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen di salah satu sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) di Sigi, Palu, Sulawesi Tengah. Di sekolah tempat saya megajar, ada banyak sekali perbedaan yang saya temui. Ada perbedaan suku-etnis, budaya, maupun agama. Perbedaan yang paling menonjol adalah perbedaan agama. Di sekolah kami, ada guru dan siswa yang beragama Kristen dan Islam. Dari segi jumlah, pemeluk Agama Islam lebih banyak dibanding dengan Kristen. Meskipun mayoritas warga sekolah beragama Islam, hal itu tidak menjadi persoalan bagi kami yang beragama Kristen. Setiap hari, ketika waktu shollat bagi siswa yang beragama Islam, para siswa yang beragama Kristen juga berkumpul untuk berdoa bersama. 


Awalnya, saya menemukan adanya Guru Pendidikan Agama maupun Guru mata pelajaran lain yang masih mengajarkan doktrin agama masing-masing, juga tentang keburukan agama lain. Hal ini menyebabkan adanya siswa yang tidak terbuka atau menjaga jarak dengan siswa yang beragama lain meskipun setiap hari hidup bersama. Bukan hanya siswa saja yang tidak terbuka terhadap perbedaan dan menghargai orang lain yang berbeda agama, namun guru di sekolah ini juga ada yang tidak terbuka. Bagi saya ini adalah sebuah masalah. 


Setelah mengikuti lokakarya mengelola dan memaknai perbedaan tahap I (yang diselenggarakan Interfidei tahun 2014 di Palu), saya banyak belajar tentang apa dan bagaimana mengelola perbedaan. Pelajaran yang saya dapat sangat bermakna terutama ketika pulang dari sekolah di mana saya bekerja. Dengan keadaan yang telah saya jelaskan di atas, saya berinisiatif untuk bertemu dengan Guru-Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Guru-Guru Pendidikan Agama Islam untuk berdialog dengan mereka. Saya berteman dengan semua Guru tanpa melihat perbedaan suku, bahasa, dan agama di antara kami. Saya memulai dialog dengan mengenal mereka serta bercerita tentang pengalaman mengajar di kelas. Kami berteman dengan baik. Soal dialog yang saya mulai, seperti yang telah saya pelajari dalam pelatihan, saya tidak mulai dengan membicarakan tentang persoalan perbedaan antar agama atau suku kami. Saya membangun relasi yang baik dengan mereka. Setelah hubungan kami sangat akrab, saya mengajak Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Guru-Guru Pendidikan Agama untuk mengadakan kegiatan bersama dengan para siswa. 


Kegiatan yang kami sepakati bersama yaitu dialog tentang simbol-simbol dan pluralisme dalam agama Islam dan Kristen. Kegiatan ini kami lakukan di Masjid sekolah kami. Semua Guru dan siswa yang beragama Islam dan Kristen terlibat. Kami mulai dengan pengantar dan menjelaskan apa itu pluralisme. Setelah pengantar dari kami, para siswa kemudian berdiskusi di antara mereka tentang simbol-simbol dalam agama mereka, serta tentang pengalaman mereka mengenai perbedaan yang ada dalam lingkungan mereka. Pengalaman ini adalah yang pertama untuk saya. Saya juga belajar banyak hal dalam kegiatan ini. Kami belajar bersama untuk menambah pengetahuan kami terkait pluralisme agama. Kegiatan ini mendapat apresiasi dari semua teman. 


Pasca kegiatan, saya melihat para siswa sudah tidak canggung lagi membicarakan tentang agama mereka. Mereka menjadi percaya diri kalau bicara tentang apa agama mereka. Mereka bergaul dengan semua siswa tanpa membedakan agamanya. Mereka mulai terbuka menerima perbedaan yang ada. Ini memang perlu dilakukan secara terus-menerus. Bagi saya, ini adalah pengalaman yang baik. Itikad yang baik harus dimulai dari diri sendiri. Jika kita mempunyai hal baik untuk dilakukan maka kita harus memulainya dari diri sendiri dan mengajak orang lain. Dialog adalah sarana yang baik. Dialog tujuannya untuk saling memahami, menghargai dan bekerjasama, demi Indonesia yang lebih baik.
Setelah mengikuti beberapa pelatihan yang diselenggarakan Interfidei, saya diberi kesempatan oleh Kepala Sekolah untuk membagikan apa yang saya peroleh kepada Guru yang lain di sekolah kami. Saya menjadikan materi tentang mengelola dan memaknai perbedaan sebagai bahan ajar saya. Saya berusaha mendidik para siswa untuk tidak menjadikan perbedaan sebagai sebuah halangan, namun sebagai berkah dan perlu dikelola.


Ditulis oleh: Cornelius Selan
Editor: Otto Adi Yulianto