img

Yesus, di Antara Pemilu dan Salib: Teladan Salib, Kekerasan Tak Boleh Merenggut Keutuhan Kualitas Ke

Oleh DANIEL K LISTIJABUDI 

Diterbitkan di Kompas, 28 Maret 2024

Umat Kristen Indonesia, hari-hari ini, mencermati, merenungi, dan menyikapi hasil dari dua lokus pemilu. Lokus pertama, hasil Pemilu 14 Februari 2024 yang diumumkan pada 20 Maret 2024. Lokus kedua, kisah ”pemilu” dalam kisah sengsara Yesus seperti dikisahkan dalam Injil yang pada hari-hari ini menjadi perenungan iman bersama.

Adakah kaitan pesan dan urgensi sosial dari kedua pemilu tersebut pada kehidupan kita sebagai insan Indonesia? Marilah kita coba periksa. Pemilu kedua (kisah sengsara Yesus) akan dijadikan lensa untuk merefleksikan dinamika kehidupan sosial pada dan pascapemilu lokus pertama.

Sila bertanya kepada umat Kristiani, mengapa Yesus disalibkan? Rerata jawaban mereka antara lain adalah: untuk menebus dosa dunia, atau untuk menggantikan hukuman manusia berdosa, atau untuk mengalahkan iblis dan segala kutukannya, atau untuk menanggung kemarahan Allah atas dosa manusia. Diskusi tentang ini telah dituliskan dengan menarik di buku klasik berjudul Christus Victor, karya Gustav Aulen pada 1931.

Jawaban-jawaban yang dikemukakan Aulen umumnya memang adalah alternatif jawaban yang ada dalam teologi Kristen. Namun, jika kita memperhatikan narasi Injil itu sendiri, ada ide-ide tertentu yang bisa memberikan perspektif lain yang nondogmatik dan sekaligus lebih relevan bagi perenungan kita atas realitas kehidupan sosial umumnya.

Hal itu adalah bahwa Yesus dijatuhi hukuman salib sebagai buah dari perkawinan konspiratif dari praktik fanatisme agama yang jahat, kalap, membuta yang berkelindan dengan kekuasaan militer hendak mempertahankan keamanan plus menjaga kendali status quo atas massa. Kedua matra yang saling menyuplai kepentingan secara mutualistis itu menyasar ke satu pihak (sebagai korban) dalam pola all against one, demi terciptanya perdamaian semu dalam suatu social fabric (Rene Girard).

Dalam Injil, baik Injil Sinoptik yang artinya ”melihat bersama” karena kemiripan dan silang suplai data (yakni Matius, Markus, Lukas), maupun Injil Yohanes yang memiliki tekanan teologi dan model penceritaan yang relatif berbeda dari Sinoptik, kita mendapati kisah ketika Yesus diadili oleh Pilatus (Gubernur Romawi yang diberi kuasa atas wilayah Yudea) di hadapan rakyat Yahudi dan para pemuka agamanya.

Narasinya cukup jelas dan terpola sederhana, yakni Yesus dijatuhi hukuman salib (dilakukan oleh para prajurit Romawi) oleh atas perintah Pontius Pilatus yang memberi jalan bagi upaya busuk kaum agamawan Yahudi yang didukung oleh histeria massa.

Yesus adalah korban kekerasan dari sindikasi politik yang bercium-ciuman dengan maksud busuk kaum agamawan yang merasa terancam kepopuleran dan pengaruhnya atas rakyat kebanyakan (okhlos/bahasa Yunani).
Para agamawan terancam oleh kehadiran Yesus yang dengan memulai menebarkan ajaran bertata nilai sungsang alias berkebalikan dengan tata nilai dunia dan juga secara diametral berbeda kualitas dengan keteladanan pada pemimpin orang Yahudi (yakni ahli Taurat dan Mahkamah Agama) pada awal Zaman Bersama (Zaman Bersama, dahulu disebut AD, Anno Domini) waktu itu.

Pemimpin sidang yang menempatkan Yesus sebagai terdakwa pada Jumat pagi sekitar 2000 tahun lalu itu adalah seorang gubernur yang memiliki kepentingan sendiri, yang bermuara kepada stabilitas keamanan dan politik di wilayah yang dikuasakan kepadanya oleh Kaisar Roma. Hasutan para pemimpin agama telah menyulut histeria massa ketika Pilatus memperhadapkan kasus Yesus yang diberi julukan bernada provokatif ”Raja orang Yahudi.”

Bahkan, ketika Pilatus sempat bimbang dan menimbang untuk membebaskan Yesus, desakan massa kembali membuat posisi Pilatus terjepit, persisnya ketika Pilatus mendengar ucapan histeria massa: ”Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukan sahabat Kaisar” (Yoh 19: 12).

Pilihan rakyat

Jepit-menjepit di antara pelbagai kepentingan para pihak yang mengatasnamakan konvergensi (artificial) kolegialitas politis, atau atas nama kebenaran agama, atau demi stabilitas sosial, terjadi bukan hanya di masa kini, tetapi sejak dulu kala. Termasuk, dalam peristiwa persidangan nasib Yesus dalam ”pemilu” pagi itu, ketika nasib Yesus ditentukan oleh pilihan rakyat (massa Yahudi yang marah dan terprovokasi oleh maksud penuh intrik dari para pemimpinnya).

Keputusan dari pemilu pagi itu jelas: harus ada yang dikorbankan. Itu dilakukan agar semua akumulasi kehendak dari mereka yang mayoritas, memiliki modal plus akses ke power dan bersama- sama memiliki agenda untuk kepentingan diri sendiri, terlayani. Itulah pangkal soal narasi tentang sebab-sebab psiko-sosio-kultural dari disalibkannya Yesus.

Dalam tradisi dan penghayatan iman Kristen, bertemulah narasi Injil dan refleksi teologis-dogmatik dari peristiwa salib sehingga kita meneropong kisah ini sebagai suatu sejarah keselamatan karya Allah dalam salib Kristus yang memberikan realitas keselamatan. Bukan hanya dengan darah, tetapi juga dengan seluruh teladan hidup Yesus yang jernih dalam aksi menghadapi kekerasan.

Nilai dan praksis kejernihan cinta kasih yang mengatasi kekerasan itu ternampakkan dalam pesan saling cinta saling jaga. Yesus memberikan teladan bahwa dalam hidup dan matinya Ia menggenapi seluruh Kitab Suci. Itu sebab di sakratul maut Ia berkata, ”Tetelesthai,” (arti harfiah: sudah selesai- sudah genap- sudah tercapai tujuannya) sebelum ia lalu menyerahkan nyawa-Nya (Yoh 19: 30).

Teladan salib adalah bahwa kekerasan tak boleh merenggut keutuhan kualitas kehidupan. Hidup mesti dilibati secara penuh dalam kebenaran, cinta kasih, dan perdamaian.

Dengan demikian, kehendak Allah yang mestinya menjadi jantung hidup segala ciptaanNya menggerakkan setiap detak nadi spiritualitas dan berada di setiap lapis-lapis serat-serat kemanusiaan kita, yaitu kita yang terpanggil menjadi agen dari nilai-nilai kebenaran, cinta kasih, dan perdamaian dalam seluruh gerak kita, sebagai pribadi maupun putra-putri dari komunitas berbangsa, dalam segala perhelatan kehidupan, personal, komunal, bahkan mondial.

Demikianlah, siapa yang memilih dan menggerakkan moda dan nilai kejahatan-penipuan (sebagai antitesa dari kebenaran), kekerasan (antitesis dari cinta kasih), dan berhati busuk serta tidak adil (antitesis dari perdamaian), dalam menjalankan mandat kekuasaan yang ada padanya secara destruktif, adalah mereka yang secara esensial-eksistensial, sampai sekarang masih ingin menyalibkan Yesus.

Semoga kita semua, siapa pun kita, apa pun posisi kita terhadap pemilu lokus pertama, yakni dalam konteks kehidupan kebersamaan kita secara sosial di Indonesia, terpanggil untuk terus-menerus menjadi agen-agen karya kebajikan Tuhan. Selamat memasuki Tri Hari Suci di masa Paskah ini.

Daniel K Listijabudi, Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta