img

Gus Dur, Civil Society, dan AI

Oleh: Eikel K. Ginting (Mahasiswa Kajian Konflik & Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana)

Menguraikan soal pemikiran dan kontribusi KH. Abdurrahman Wahid bagi Indonesia dan dunia merupakan sesuatu yang tidak terukur dengan kuantitas saja, hingga saat ini dapat dirasakan dampak dari pemikiran dan kontribusi Gus Dur bagi pembangunan Indonesia yang utuh. Indonesia yang utuh di mata Gus Dur sangat erat dengan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan setelah 14 tahun Gus Dur tiada namun nilai-nilai yang dipraktikkan dan diajarkannya masih relevan dengan konteks Indonesia hari ini. Di mata saya sebagai orang Kristen, Gus Dur memiliki panggilan kemanusiaan yang otentik melampaui identitas dan sekat-sekat keagamaan. Di tengah sisa-sisa model pemerintahan orde baru yang mengutamakan percepatan kemajuan ekonomi serta maraknya dehumanisasi  yang menyebabkan hak-hak kemanusiaan di ruang publik ditiadakan, Gus Dur hadir membawa konsep dan idealisme human development yang memang menjadi nilai dirinya semenjak dari keluarga dan pendidikan yang dijalaninya. Latar belakang Gus Dur yang memiliki akar kultur dan kehidupan pesantren berbasis budaya, pendidikan  inklusif (sekuler liberal, dan rasional) dan nilai keIslaman yang inklusif.  Tidak salah dikatakan bahwa Gus Dur sebagai penggerak dan penanam nilai-nilai humanis di tengah kondisi bangsa yang rapuh pasca orde baru, serta tantangan menguatnya identitas etnis dan keagamaan yang sangat rentan terhadap munculnya konflik[1]

Kehadiran model kepemimpinan Gus Dur menurut Paul L. Heck ialah menonjolkan common ground antara agama dan kepercayaan di Indonesia, model yang melampaui lanskap keagamaan yang normatif dan menyentuh ranah kemanusiaan. Makna dan identitas agama dibawa menuju kepada intergroup understanding dimana setiap agama melampaui panggilan keagamaannya menuju pada perjumpaan yang otentik dalam rangka menghadapi tantangan kemanusiaan. Pluralitas yang diajarkan Gus Dur bukan menghilangkan keunikan klaim kebenaran dari setiap agama di Indonesia, namun menjadikan nilai kebenaran tersebut dapat menggerakkan civil society dengan dasar cinta kasih sebagai kesadaran antar identitas agama yang berbeda[2]. Gus Dur hadir membawa pemikiran dari eksklusif menuju inklusif dengan mengutamakan titik temu antara klaim kebenaran setiap agama yang berbeda, dasarnya ialah kemanusiaan dan terbuka merangkul serta mengutamakan nilai kemanusiaan secara bersama. Perwujudan nilai cinta kasih atas manusia merupakan nilai dasar untuk membangun peradaban yang memanusiakan manusia dari civil society hingga kalangan grass roots.

Disinilah saya pikir pemikiran Gusdur diletakkan sebagai dasar dan pijakan melihat tantangan global saat ini, pemikiran human dignity diperhadapkan dengan kehadiran AI (Artificial Intelligence) menjadi suatu tantangan kemanusiaan. Pemikiran Gus Dur yang sangat melekat dengan dignity of human life adalah identitas perdamaian (kerendahan hati dan juga keramahtamahan), disinilah saya pikir perlunya kesepahaman dan perjumpaan baik kelompok agama atau etnis yang berbeda untuk mengelola AI. Kehadiran AI khususnya di Indonesia memunculkan tantangan bagi nilai kemanusiaan dan pengelolaan moral. Kecerdasan buatan saat ini menimbulkan destruktif moral dan kognitif manusia (kemalasan berpikir), menimbulkan kurangnya rasa tanggung jawab manusia terhadap sesamanya (sumber daya manusia yang rendah), dan lapangan pekerjaan yang berkurang akibat ancaman penggunaan robot dan otomatisasi teknologi. Disinilah saya pikir pemikiran Gusdur relevan dengan tantangan kemanusiaan dan hadirnya AI[3]

Pemberdayaan berbasis nilai keagamaan yang common values (perdamaian dan membangun kemanusiaan), mendorong kesadaran intelektual bersama di masyarakat melalui kelompok agama dan lembaga-lembaga independen, dan membangun gerakan masyarakat serta kemandirian ekonomi berbasis kemanusiaan merupakan nilai yang perlu dipromosikan dari pemikiran Gus Dur dalam menghadapi tantangan AI. Pembangunan kemanusiaan merupakan panggilan perdamaian antar agama dan kelompok di masyarakat yang harus dilakukan bersama secara holistik. Identitas kemanusiaan dari kacamata Gus Dur merupakan identitas yang harus dipenuhi secara damai, adil, dan mementingkan kemaslahatan bersama. Sejalan dengan pemikiran  tersebut, menurut salah satu penggiat perdamaian dan jurnalis Camilla Orjuela bahwa usaha membentuk identitas perdamaian yang utuh diperlukan transformasi identitas secara bersama, dengan membentuk identitas alternatif melalui dialog keterbukaan, dan nilai toleransi, serta agama yang diyakini masing-masing menjadi sebuah inspirasi dalam membentuk identitas bersama[4]. Hal inilah yang saya lihat dilakukan Gus Dur dalam kehidupannya, berupaya membangun identitas kemanusiaan yang otentik melampaui nilai agama dengan segala tantangannya, sehingga nilai-nilai damai atas nama humanis tersebut dapat dirasakan hingga saat ini. Oleh karena itu tugas bersama setiap insan menyadari bahwa belum usai perjuangan secara bersama dan massif melakukan kerjasama pemberdayaan kemanusiaan, terkhusus dalam menghadapi tantangan AI bagi pembangunan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sumber Bacaan

Heck, Paul L. Common Ground Islam, Christianity, and Religious Pluralism. Washington D.C: Georgetown University Press, 2009.

Nida-Rümelin, Julian. “Digital Humanism and the Limits of Artificial Intelligence.” Perspectives on Digital Humanism, 2021, 71–75. https://doi.org/10.1007/978-3-030-86144-5_10.

Orjuela, Camilla. The Identity Politics of Peacebuilding: Civil Society in War-Torn Srilanka. California: Sage Publication Inc, 2008.

Wahid, Kh. Abdurrahman. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Warisan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Jakarta: Kompas, 2010.

 

 

 

 

[1] Kh. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Warisan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Jakarta: Kompas, 2010),.

[2] Paul L. Heck, Common Ground Islam, Christianity, and Religious Pluralism (Washington D.C: Georgetown University Press, 2009), 5-6.

[3] Julian Nida-Rümelin, “Digital Humanism and the Limits of Artificial Intelligence,” Perspectives on Digital Humanism, 2021, 71–75, https://doi.org/10.1007/978-3-030-86144-5_10, 71-74.

[4] Camilla Orjuela, The Identity Politics of Peacebuilding: Civil Society in War-Torn Srilanka (California: Sage Publication Inc, 2008), 200-203.